Mengajak anak-anak ke masjid adalah bagian dari pendidikan. Selain menanamkan kepada anak-anak untuk mencintai tempat-tempat ibadah juga mengajari mereka untuk menghormati orang lain, bersikap tenang, tidak menggangu orang lain, tidak bermain, belajar berkomunikasi dengan orang-orang di luar rumah, juga akan bermanfaat bagi si anak untuk mengenal lingkungan sekitar.
Hikmah lain yaitu untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri sholat jamaah, mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan mereka dengar saat di masjid -seperti: dzikir, bacaan qur’an, takbir, tahmid, dan tasbih- itu memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadar. Pengaruh tersebut, tidak akan -atau sangat sulit- hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlap dunia. Banyak hadits yang menerangkan tentang kehidupan Nabi bersama anak-anak di masjid. Diantaranya hadits-hadits sebagai berikut:
- Menggendong Anak ketika Shalat
عن أبي قَتَادَةَ رضي الله عنه: بَيْنَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ جُلُوسٌ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْمِلُ أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ وَأُمُّهَا زَيْنَبُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ صَبِيَّةٌ يَحْمِلُهَا عَلَى عَاتِقِهِ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ عَلَى عَاتِقِهِ يَضَعُهَا إِذَا رَكَعَ وَيُعِيدُهَا إِذَا قَامَ حَتَّى قَضَى صَلَاتَهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ بِهَا [ أبو داود 783 و النسائي 704 و صححه الألباني ]
Abu Qotadah radhiallahu ‘anhu mengatakan: Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– muncul ke arah kami sambil menggendong Umamah binti Abil Ash, -ibunya adalah Zainab binti Rosulullah, ketika itu Umamah masih kecil (belum disapih)-, beliau menggendongnya di atas pundak, kemudian Rosulullah mengerjakan sholat, sedang Umamah masih di atas pundak beliau, apabila ruku’ beliau meletakkan Umamah, dan apabila berdiri beliau menggendongnya kembali, beliau melakukan yang demikian itu hingga selesai sholatnya. (HR. Abu Daud no. 783, an-Nasa’i no. 703 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahumullah).
- Meingankan Bacaan ketika Mendengar Tangisan Anak.
عَن أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ مَعَ أُمِّهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَقْرَأُ بِالسُّورَةِ الْخَفِيفَةِ أَوْ بِالسُّورَةِ الْقَصِيرَةِ [ مسلم 722]
Anas radhiallahu ‘anhu mengatakan: Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– pernah mendengar tangisan seorang anak kecil bersama ibunya, sedang beliau dalam keadaan sholat, karena itu beliau membaca surat yang ringan, atau surat yang pendek. (HR. Muslim no. 722).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنِّي لَأَدْخُلُ الصَّلَاةَ أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأُخَفِّفُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ بِهِ [ البخاري 666 و مسلم 723 ] قال الشوكاني في نيل الأوطار ( 5/ 48 ) : ” فيه جوازُ إدخال الصبيانِ المساجدَ” .
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan: Rosulullah – shallallahu alaihi wasallam – bersabda: “Sungguh aku pernah memulai sholat yang ingin ku panjangkan, lalu karena kudengar tangisan seorang anak kecil, maka kuringankan (sholat tersebut), karena (aku sadar) kegusaran ibunya terhadapnya”. (HR. Bukhari no. 666 dan Muslim no. 723).
- Berhenti Berkhutbah untuk Menyambut Anak.
عَنْ بريدة رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَجَاءَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَعَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَعْثُرَانِ فِيهِمَا فَنَزَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَطَعَ كَلَامَهُ فَحَمَلَهُمَا ثُمَّ عَادَ إِلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ قَالَ صَدَقَ اللَّهُ ” ( إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ) رَأَيْتُ هَذَيْنِ يَعْثُرَانِ فِي قَمِيصَيْهِمَا فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ كَلَامِي فَحَمَلْتُهُمَا” [النسائي 1396وابن ماجه 3590 وصححه الألباني].
Buroidah mengatakan: Suatu saat Nabi –shallallahu alaihi wasallam– berkhutbah, lalu datanglah Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhuma yang memakai baju merah, keduanya berjalan tertatih-tatih dengan baju tersebut, maka beliau pun turun (dari mimbarnya) dan memotong khutbahnya, lalu beliau menggendong keduanya dan kembali ke mimbar, lalu mengatakan: “Maha benar Allah dalam firman-Nya: ‘Sungguh harta-harta dan anak-anak kalian itu adalah fitnah (cobaan)’, aku melihat kedua anak ini tertatih-tatih dengan bajunya, maka aku tidak sabar, hingga aku memotong khutbahku, lalu aku menggendong keduanya”. (HR. an-Nasa’i no. 1396, Ibnu Majah no. 5390 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahumullah).
- Shalat bersama Anak.
عن أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي، فَإِذَا سَجَدَ وَثَبَ الْحَسَنُ عَلَى ظَهْرِهِ وَعَلَى عُنُقِهِ، فَيَرْفَعُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَفْعًا رَفِيقًا لِئَلَّا يُصْرَعَ، قَالَ: فَعَلَ ذَلِكَ غَيْرَ مَرَّةٍ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْنَاكَ صَنَعْتَ بالْحَسَنِ شَيْئًا مَا رَأَيْنَاكَ صَنَعْتَهُ قَالَ: ” إِنَّهُ رَيْحَانَتِي مِنْ الدُّنْيَا وَإِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَعَسَى اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ” [ أحمد 19611 بإسناد جيد ] .
Abu Bakroh radhiallahu ‘anhu mengatakan: Sungguh Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– suatu ketika pernah sholat, jika beliau sujud, Hasan melompat ke atas punggung dan leher beliau, maka beliau pun mengangkatnya dengan lembut agar dia tidak tersungkur (jatuh)… Beliau melakukan hal itu tidak hanya sekali… Maka seusai beliau mengerjakan sholatnya, para sahabatnya bertanya: “Wahai Rosulullah, kami tidak pernah melihat engkau memperlakukan Hasan sebagaimana engkau memperlakukannya (hari ini)”… Beliau menjawab: “Dia adalah permata hatiku dari dunia, dan sungguh anakku ini adalah sayyid (seorang pemimpin), semoga dengannya Allah tabaroka wa ta’ala mendamaikan dua kelompok kaum muslimin (yang bertikai)”. (HR. Ahmad no. 19611 dengan sanad yang jayyid).
- Menuntaskan keinginan Anak.
عَنْ شداد رضي الله عنه قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعِشَاءِ وَهُوَ حَامِلٌ حَسَنًا أَوْ حُسَيْنًا، فَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَوَضَعَهُ، ثُمَّ كَبَّرَ لِلصَّلَاةِ، فَصَلَّى فَسَجَدَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ صَلَاتِهِ سَجْدَةً أَطَالَهَا، قَالَ أَبِي فَرَفَعْتُ رَأْسِي وَإِذَا الصَّبِيُّ عَلَى ظَهْرِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ سَاجِدٌ فَرَجَعْتُ إِلَى سُجُودِي فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الصَّلَاةَ قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ سَجَدْتَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ صَلَاتِكَ سَجْدَةً أَطَلْتَهَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ قَالَ : ” كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ” [النسائي 1129 والحاكم 4759 وصححه ووافقه الذهبي]
Syaddad radhiallahu ‘anhu mengatakan: Suatu ketika Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– pernah datang kepada kami dalam salah satu sholat fardhu malamnya (maghrib atau isya’), sambil menggendong Hasan atau Husein, lalu Rosulullah –shallallahu alaihi wasallam– maju ke depan (untuk mengimami), beliau pun menurunkannya (Hasan atau Husein), lalu bertakbir untuk memulai sholatnya, di tengah-tengah sholatnya beliau sujud dengan sujud yang panjang.
Syaddad mengatakan: maka aku pun mengangkat kepalaku, dan ternyata ada anak kecil (Hasan atau Husein) di atas punggung Rosulullah yang sedang sujud, lalu aku kembali sujud. Setelah Rosulullah menyelesaikan sholatnya, para sahabatnya bertanya: Wahai Rosulullah, sungguh engkau telah bersujud dengan sujud yang panjang di tengah-tengah sholatmu, sehingga kami mengira terjadi sesuatu, atau ada wahyu yang turun kepadamu? Beliau menjawab: Bukan karena itu semua, akan tetapi cucuku (Hasan atau Husein) menunggangiku, dan aku tidak ingin segera menyudahinya sampai ia puas dengan keinginannya. (HR. an-Nasa’I no. 1129, Hakim no. 4759 dan dishahihkannya serta disepakati oleh adz-Dzahabi).
Pendapat ulama tentang membawa anak ke dalam masjid.
- Malik ibn Anas rahimahullah ketika ditanya tentang anak yang di bawa ayahnya ke masjid, beliau menjawab, ‘Jika tidak bermain dan mengganggu orang lain, maka aku melihat perkara ini dibolehkan.’
- Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ”Hadits ini sebagai dalil bagi madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah dan yang sepakat dengannya bahwasannya diperbolehkan untuk membawa anak baik laki-laki dan perempuan serta hewan yang suci dalam shalat fardlu dan shalat sunnah, baik ia seorang imam, makmun, atau orang yang shalat sendirian (munfarid)”. (Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi).
- Pendapat Asy-Syaukani dalam kitab Nailul al-Author 5/48; “Hadits ini (HR. Bukhari no. 666 dan Muslim no. 723) menunjukkan diperbolehkannya memasukkan anak ke dalam masjid”.
- Jawaban Syaikh Muhammad ibn Shaleh al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya hukum membawa anak ke dalam masjid, ‘Aku berpendapat bahwa membawa anak yang sering mengganggu jama’ah lainnya tidaklah diperbolehkan. Karena perbuatan semacam ini mengganggu jamaah lainnya yang sedang menunaikan ibadah. Beliau baru memperbolehkan membawa anak ke masjid jika anak tersebut sudah mumayyiz, artinya sudah mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk atau sekitar usia 7 tahun. (disadur secara singkat dari Liqo Maftuh, 8/125 dan Fatawa Islamiyah 2/8).
- Fatwa Syaikh Ibn Baz rahimahullah, beliau berkata, ”Jika memungkinkan berada di rumah ini lebih baik, supaya tidak mengganggu orang yang shalat. Jika tidak bisa, karena dia ingin shalat bersama orang lain, atau senang mendengarkan kajian, dan khutbah maka tidak mengapa baginya untuk ikut ke masjid.
Di kesempatan yang lain beliau mejawab, Hal ini perlu diperinci. Jika anak sudah mencapai usia tujuh tahun, maka hendaknya dia diperintah untuk shalat dan ditemani ayah atau saudaranya sehingga ia terbiasa shalat dan menjaganya. Namun jika anak tersebut dibawah usia tujuh tahun, maka tidak perlu anak diajak ke masjid, karena terkadang dia akan menggangu orang-orang yang shalat, berbuat gaduh dengan bermain dan berbicara, dengan demikian hendaknya anak seperti itu tidak diajak ke masjid.
- Pendapat Syaikh Nasiruddin al-Albani rahimahullah, Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bolehnya memasukkan anak ke masjid-masjid, walaupun mereka masih kecil dan masih tertatih saat berjalan, walaupun ada kemungkinan mereka akan menangis keras, karena Nabi –shallallahu alaihi wasallam– menyetujui hal itu, dan tidak mengingkarinya, bahkan beliau menyariatkan untuk para imam agar meringankan bacaan suratnya bila ada jeritan bayi, karena dikhawatirkan akan memberatkan ibunya.
Mungkin saja hikmah dari hal ini adalah untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri sholat jamaah, mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan dengar saat di masjid -seperti: dzikir, bacaan qur’an, takbir, tahmid, dan tasbih- itu memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadari… Pengaruh tersebut, tidak akan -atau sangat sulit- hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlap dunia.
Dan sepertinya Ilmu psikologi modern, menguatkan kenyataan bahwa anak kecil itu bisa dipengaruhi oleh apa yang didengar dan dilihatnya… Adapun anak yang sudah besar, maka terpengaruhnya mereka dengan hal-hal tersebut sangatlah jelas dan tak terbantahkan.
Hanya saja bila ada diantara mereka yang bermain dan berlari-lari di masjid, maka wajib bagi bapaknya atau walinya untuk mengambil tindakan (menghukumnya) dan mendidiknya… Atau wajib bagi petugas dan pelayan masjid untuk mengusir mereka… Seperti inilah praktek kisah yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir: “Dahulu Umar bin Khottob radhiallahu ‘anhu bila melihat anak-anak bermain di masjid, memukuli mereka dengan pecut, dan setelah Isya’ beliau memeriksa masjid, sehingga tidak menyisakan satu orang pun. (Tsamarul Mustathob 1/761)
Kesimpulan dari pendapat di atas, bahwa membawa anak ke dalam masjid diperbolehkan, hanya saja hendaknya orang tua untuk memperhatikan kondisi anak, jika memungkinkan ia mampu untuk diam tidak mengapa untuk di bawa ke masjid, namun jika di bawa ke masjid membuat kegaduhan dan menghilangkan kekhusyuan, sebaiknya anak tetap di rumah sampai anak itu paham dan mengetahui adab-adab masjid. Itulah kenapa di dalam islam shalat sunnah bagi laki-laki lebih utama di dalam rumah, agar anak bisa meniru kebaikan ayahnya, karena hal yang paling mudah dalam mendidik anak adalah dengan keteladanan. Wallahu A’lam