Rajab secara bahasa diambil dari lafadz رَجَبَ الرَّجُلُ رَجَاباَ , maknanya mengagungkan dan memuliakan. Rajab adalah salah satu diantara nama bulan. Disebut dengan Rajab, sebab orang di zaman Jahiliyyah sangat mengagungkan bulan ini, yaitu dengan tidak membolehkan perang di bulan tersebut. (Qamuush al-Muhiith, I/65).
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa bulan Rajab termasuk bulan yang memiliki keutamaan, yaitu bahwa diharamkan berperang di bulan Rajab, supaya memudahkan orang-orang yang berada di pinggir jazirah arab untuk mengadakan perjalanan umrah atau berziarah ke Baitullah, dan mereka dapat kembali ke negrinya dengan aman. (Tafsir Ibnu Katsir, IV/148).
Bulan Rajab termasuk bulan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).
Dari ke empat bulan haram di atas, para ulama berbeda perndapat mana yang lebih utama di antara bulan-bulan haram tersebut. Ibnu Rajab merinci pendapat ulama dalam kitab Latho-if Al Ma’arif halaman 203 menjadi tiga pendapat, pertama, pendapat Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bulan Rajab adalah bulan yang paling utama dibandingkan bulan haram yang lainnya, meskipun Imam Nawawi melemahkan pendapat ini. Kedua, pendapat Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Ketiga, Sa’id bin Jubair dan lainnya berpendapat bahwa bulan Dzulhijjah yang lebih utama. Ini adalah pendapat, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab.
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36).
Hal-hal yang berkaitan dengan Bulan Rajab :
- Ritual Shalat Raghaib. Pendapat Ulama tentang Shalat Raghaib.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata : “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak 12 raka’at yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at di awal bulan Rajab, serta malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 raka’at. Dua shalat ini termasuk Bid’ah Mungkar dan jelek! Jangan tertipu dengan disebutnya kedua shalat ini dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya Ulumuddin dan jangan pula tertipu dengan disebutnya shalat tersebut dalam kedua kitab di atas. Sebab, seluruhnya merupakan kebathilan. (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, II/379).
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata : “Setiap hadits yang menyebutkan tentang puasa di bulan Rajab, juga untuk mengerjakan shalat di sebagian malamnya, semuanya dusta.” (Al-Manarul Munif, hlm. 96).
Ibnu Jauzi rahimahullah berkata : “Hadits tentang Shalat Raghaib adalah palsu, didustakan atas nama Rasulullah. (al-Maudhuu’aat, II/125).
- Isra’ dan Mi’raj. Pendapat Ulama tentang Isra’ dan Mi’raj
Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah menyebutkan adanya sepuluh pendapat para Ulama tentang waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Walaupun kebanyakan manusia merayakannya pada tanggal 27 Rajab. (Fathul Baari, VII/242).
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dari Az-Zuhri dan Urwah ibnu Jubair bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah, yaitu pada bulan Rabi’ul Awwal.
Imam As-Suddi rahimahullah berpendapat bahwa waktunya adalah 16 bulan sebelum hijrahnya Nabi ke kota Madinah, yaitu pada bulan Dzul Qa’dah.
Adapun al-Hafidz Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi rahimahullah dalam kitab sirahnya membawakan sebuah hadits tentang keutamaan bulan Rajab bahwa Isra’ dan Mi’raj yang terjadi pada malam ke 27 bulan Rajab, namun sanad riwayat tersebut tidak shahih.
Ibnu Nuhhas rahimahullah berkata, “Sesungguhnya perayaan malam Isra’dan Mi’raj merupakan kebid’ahan yang besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudaranya setan.” (Tanbihul Ghafilin, hlm. 379-380).
- Mengkhususkan Puasa.
Imam as-Suyuthi rahimahullah berkata : “Mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa adalah dibenci. Beliau melanjutkan, “Aku membenci apabila seseorang menyempurakan puasa sebulan penuh seperti puasa Rasulullah. Demikian pula mengkhususkan satu hari dari hari-hari lainnya…(Al-Amru bi Ittiba, hlm. 174).
- Mengadakan Sembelihan Khusus di Bulan Rajab.
Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976).
Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213).
Oleh karena itu bagi kaum muslimin dalam ibadah tidak cukup hanya bermodal semangat atau mengikuti tradisi yang terjadi di masyarakat saja, namun dalam ibadah perlu memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlas maknanya memurnikan semua ibadah hanya untuk Allah dan Ittiba yaitu ada tuntunannya dari Rasulullah. Sehingga amalan yang kita lakukan bernilai ibadah dan diterima oleh Allah. Sangat disayangkan jika amalan yang sudah kita kerjakan dengan membutuhkan waktu dan kesempatan namun tidak bernilai ibadah, justru sebaliknya jatuh pada perkara-perkara bid’ah. Wallahu A’lam
Ditulis oleh Ust. Abu Rufaydah, Lc. MA Hafidhohullah