Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.”([1])
Hadits ini mengandung tiga perkara, keutamaan bersedekah, keutamaan memaafkan, keutamaan tawadhu’. Secara zahir tiga hal ini apabila diamalkan oleh seseorang maka seakan-akan membuat dirinya berkurang. Jika dia bersedekah maka hartanya akan berkurang, jika dia memaafkan padahal dia bisa membalas maka harga dirinya seakan berkurang, demikian pula jika dia tawadhu’ seakan harga dirinya juga berkurang. Zahirnya memang ada yang kurang tetapi hakikat sebenarnya malah meningkatkan derajat di dunia apalagi di akhirat.
Hadits ini sekaligus mengajarkan kepada kita tentang keimanan, agar kita tidak hanya percaya dengan yang terlihat tetapi juga mengimani keutamaan yang dijanjikan oleh Allah ﷻ dan rasulnya yang mungkin tidak zahir terlihat.
Sedekah Tidak Mengurangi Harta
Sedekah yang dia lakukan tidak akan mengurangi hartanya bahkan malah menambahnya. Bertambahnya bisa dari dua sisi,
Pertama, dari sisi kualitas. Mungkin dari sisi jumlah berkurang tetapi sisa hartanya tersebut diberkahi oleh Allah ﷻ.
Kedua, dari sisi kuantitas, yaitu Allah ﷻ benar-benar menambahnya. Ketika dia bersedekah, hartanya saat itu berkurang tapi suatu saat Allah ﷻ mengganti hartanya tersebut dan menambahnya. Dan inilah kenyataan yang banyak dijumpai, betapa banyak orang yang bersedekah setelah itu Allah ﷻ justru semakin menambah hartanya.
Maka seseorang berusaha untuk bersedekah ikhlas hanya karena Allah ﷻ. dia yakin Allah ﷻ akan menambah pada hartanya apakah dari sisi keberkahan atau jumlahnya. Tidak mengapa seseorang meniatkannya agar hartanya bertambah asalkan niat utamanya karena Allah ﷻ lalu dia tambahkan pada niat tersebut niat duniawi, walaupun yang terbaik murni dia niatkan untuk meraih pahala di sisi Allah ﷻ. dan ini adalah perkara yang tidak mudah, seseorang perlu terus melatih dirinya untuk bersedekah.
Memaafkan Menambah Kemuliaan
Meskipun mungkin di pandangan orang lain harga diri kita berkurang karena tidak membalas. Tetapi di sisi Allah ﷻ orang yang memaafkan akan bertambah kemuliaannya, apalagi dia mampu untuk membalas. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang beberharapijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
Ayat ini turun menegur Abu Bakar. Abu Bakar pernah dikhianati oleh kerabatnya sendiri yaitu Misthoh. Dia adalah orang miskin yang selama ini dinafkahi oleh Abu Bakar. Tetapi Misthoh malah membalas air susu dengan air tuba, Misthoh ikut memfitnah ‘Aisyah dengan tuduhan berzina sebagaimana dikisahkan di haditsatul ifk. Ketika Allah ﷻ menurunkan ayat untuk membela putrinya ‘Aisyah maka Abu Bakar pun memutuskan untuk tidak lagi menafkahi Misthoh. Namun Allah ﷻ menurunkan ayat ini agar Abu Bakar memaafkan perbuatan Misthoh, agar melapangkan dadanya dan melupakan kejadian tersebut.
Sesungguhnya bagi orang yang memaafkan maka Allah ﷻ menjanjikannya dengan ampunan dan banyak keutamaan lainnya. Selain memaafkan mendatangkan kenikmatan di akhirat, memaafkan juga akan mendatangkan kenikmatan di dunia. Orang yang memaafkan maka hatinya akan tenang karena dia yakin hal tersebut sudah ditakdirkan oleh Allah ﷻ 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Berbeda jika tidak memaafkan maka hanya akan menambah pikirannya, dia akan memikirkan bagaimana membalasnya, sehingga bisa menyebabkan berbagai mudarat pada tubuhnya karena stres memikirkannya. Ditambah dia hanya akan menghabiskan waktunya untuk mengurusi perkara tersebut.
Hendaknya yang paling utama untuk dimaafkan adalah orang-orang terdekat seperti suami, istri, anak, orang tua, dan kerabat lainnya. Karena ternyata banyak dijumpai istri-istri yang sulit memaafkan suaminya, demikian juga suami-suami yang mudah memaafkan orang lain tapi sulit memaafkan istrinya, dan seterusnya.
Tawadhu’ Menambah Derajatnya
Jika seseorang tawadhu’ karena Allah ﷻ maka Allah ﷻ akan menambah derajatnya di dunia dan di akhirat. Maka tidak ada salahnya kita berusaha tawadhu’, misalnya ketika teman-teman kita semangat bercerita maka kita diam saja mendengarkannya walaupun kita telah mengetahui isi ceritanya.
Áthoo bin Abi Robaah pernah berkata :
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحَدِّثُنِي بِالْحَدِيْثِ فَأُنْصِتُ لَهُ كَأَنْ لَمْ أَسْمَعْهُ قَطٌّ وَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُوْلَدَ
“Sesungguhnya seseorang menyampaikan kepadaku suatu hadits, maka akupun diam menyimaknya seakan-akan aku tidak pernah mendengarnya sama sekali, padahal aku telah mendengar hadits tersebut sebelum ia dilahirkan” ([2])
Muáadz bin Saíd berkata
كُنَّا عِنْدَ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، فَتَحَدَّثَ رَجُلٌ بِحَدِيثٍ فَاعْتَرَضَ لَهُ آخَرُ فِي حَدِيثِهِ، فَقَالَ عَطَاءٌ: «سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَخْلَاقُ؟ مَا هَذِهِ الْأَحْلَامُ؟ إِنِّي لَأَسْمَعُ الْحَدِيثَ مِنَ الرَّجُلِ وَأَنَا أَعْلَمُ مِنْهُ، فَأُرِيهِمْ مِنْ نَفْسِي أَنِّي لَا أُحْسِنُ مِنْهُ شَيْئًا»
“Kami sedang berada di sisi ‘Atho bin Abi Robah, maka ada seseorang menyampaikan suatu pembicaraan, lalu ada orang yang lain memotong pembicaraannya. Maka ‘Atho berkata, “Subhaanallah, akhlak macam apa ini?, kedewasaan macam apa ini?, sungguh aku mendengarkan suatu pembicaraan dari seseorang padahal aku lebih tahu tentang pembicaraan tersebut, lalu aku menampakan kepada mereka seakan-akan aku tidak mengerti sama sekali tentang pembicaraan tersebut” ([3])
Ini semua dilakukan oleh ‘Atho sebagai bentuk tawadhu beliau, tidak ingin menunjukan “pengetahuannya”, tetap menghargai pembicara, dan ingin menyenangkan hatinya.
Dikisahkan juga bahwa ada orang yang mendatangi Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menceritakan sebuah kejadian, Syaikh pun mendengarkannya dengan seksama. Lalu datang orang kedua menceritakan kejadian yang sama, Syaikh kembali mendengarkannya dengan seksama. Kemudian datang lagi orang ketiga menceritakan kejadian yang sama dan Syaikh tetap mendengarkannya dengan seksama karena ingin menyenangkannya. Beliau berusaha bersikap tawadhu’, tidak lantas mencela atau memberhentikan pembicaraan orang-orang tersebut karena syaikh telah mengetahuinya.
Inilah balasan yang dijanjikan oleh Allah ﷻ bagi orang yang bersedekah, memaafkan, dan tawadhu’ karena Allah ﷻ, Allah akan mengangkat derajatnya di dunia sebelum di akhirat.
Footnote:
([1]) HR. Muslim no. 2588.
([2]) Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asaakir 40/401
([3]) Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asaakir 40/401 dan al-Jaami’ Li Akhlaaq Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami’, al-Khothib al-Baghdaadi 1/200
sumber : https://bekalislam.firanda.com/6558-keutamaan-memaafkan-dan-tawadhu-hadis-11.html