Islam adalah agama yang mulia. Islam mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk selalu jujur dalam setiap keadaannya. Islam juga mengharamkan sifat dusta dan mencela perbuatan dusta. Oleh karena itu, di dalam banyak ayat dan juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan keharaman dusta.
Di antara dalil yang menunjukkan buruknya sifat dusta dan mulianya sifat jujur adalah firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar)!” (QS At-Taubah: 119)
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).”[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia berbicara dia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat.”[2]
Keutamaan orang yang memiliki sifat jujur
Orang yang memiliki sifat jujur akan mendapatkan banyak keutamaan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Dia akan mendapatkan ketenangan di dalam hatinya
Orang yang selalu jujur akan mendapatkan ketenangan di dalam hatinya. Dia akan merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia lakukan. Berbeda halnya dengan orang yang suka berdusta. Hidup mereka tidak akan tenang dan penuh dengan kebimbangan.
Orang yang sudah terbiasa berbohong, maka untuk membenarkan kebohongannya dia akan selalu berbohong, sehingga hidupnya dipenuhi dengan kebohongan. Orang yang seperti ini tidak akan bahagia di dunia dan di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ.
“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan atau kebingungan.”[3]
Dia akan mendapatkan keberkahan dalam jual belinya
Seorang yang jujur di dalam kesehariannya dengan orang lain, maka akan mendapatkan keberkahan di dalam hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyaar (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan, maka mereka akan diberkahi di dalam jual beli mereka. Apabila mereka berdusta dan saling menyembunyikan (cacat) maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka.”[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa keberkahan di dalam jual beli bisa didapatkan dengan kejujuran.
Dia akan mendapatkan kesyahidan jika dia memintanya dengan jujur
Menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid adalah cita-cita setiap mukmin yang sempurna keimanannya. Keutamaan orang yang mati dalam keadaan syahid sangat banyak dan sangat besar. Dalil-dalil yang membahas tentang keutamaan mati dalam keadaan syahid disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada saat sekarang ini, sangat susah untuk bisa menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid di medan pertempuran, karena syarat untuk berhijad sangatlah banyak dan tidak sembarangan. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala tetap memberikan keutamaan jihad untuk orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaan syahid, jika orang tersebut memiliki niat yang ikhlas dan jujur dari hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Barang siapa yang meminta kepada Allah untuk dimatikan dalam keadaan syahid dengan jujur, maka Allah akan menjadikannya berkedudukan seperti orang-orang yang mati syahid walaupun dia mati di atas kasurnya.”[5]
Surga dan orang-orang yang jujur
Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan surga atas kejujuran seseorang selama hidup di dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Allah berkata: Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka rida terhadap Allah. Itulah keberuntungan yang paling besar“. (QS Al-Maidah: 119)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang sangat jujur), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
Wajibnya menjaga amanah
Di antara bentuk kejujuran pada diri seseorang adalah bisa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak beramanah. Dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mememenuhi perjanjian.”[6]
Orang yang diberikan amanah harus benar-benar menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.
Cara melatih kejujuran
Untuk mencapai derajat ash-shiddiq (orang yang sangat jujur) tidaklah mudah. Seseorang harus terus melatih dan mempraktikkan kejujuran dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Jika kita perhatikan, sifat dusta kebanyakan muncul karena kecintaan seseorang terhadap dunia. Untuk mendapatkan dunia banyak orang yang berdusta dan melupakan akhiratnya.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ، فَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، وَالكَفُّ عَنْ أَهْلِ المِلَّةِ.
“Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.”[7]
Dusta yang diperbolehkan
Hukum asal dari dusta adalah haram. Seseorang tidak boleh melakukannya dalam keadaan apapun. Akan tetapi, ada beberapa tempat, dimana seorang muslim boleh berdusta, karena berdusta pada saat itu, memiliki maslahat (kebaikan) yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim. Dusta yang diperbolehkan hanya terdapat pada tiga tempat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلاَ يُرِيدُ بِهِ إِلاَّ الإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِى الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا
“Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya)“[8]
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رَخَّصَ –النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– مِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ : فِي الْحَرْبِ، وَفِي الإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu: ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya”[9]
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits di atas, apakah dusta pada ketiga hal ini diperbolehkan secara mutlak, ataukah tetap tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan hanyalah tauriyah. Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengatakan suatu perkataan, tetapi perkataan tersebut bisa dipahami berbeda oleh orang-orang yang mendengarkannya, sedangkan orang yang mengatakannya menginginkan makna yang lain dari perkataannya, sehingga dia tidak bisa dikatakan berdusta.
Contoh dari tauriyah adalah sebagai berikut:
Ada orang zalim yang mencari dan mengejar seseorang untuk membunuhnya, kemudian orang yang dikejar berlari dan melewati seorang yang sedang duduk. Kemudian orang zalim tersebut bertanya kepada orang yang duduk tadi, “Apakah kamu melihat orang yang berlari?” Orang yang duduk tadi pun mengatakan sambil berdiri, “Semenjak saya berdiri di sini, saya tidak melihat seorang pun lewat di depan saya.”
Orang yang duduk tadi melakukan tauriyah, yang dia maksudkan adalah semenjak berdiri dia tidak melihat seorang pun, tetapi ketika dia duduk dia melihatnya. Sedangkan yang dipahami oleh orang yang bertanya adalah dari tadi orang tersebut tidak melihat orang yang dicarinya.
Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan fiqh kedua hadits tersebut di dalam kitab beliau ‘Ash-Shahiihah’, “Tidak samar bagi orang yang memiliki pandangan bahwasanya pendapat kelompok pertama (yang membolehkan berdusta secara mutlak pada tiga hal tersebut) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih layak karena sesuai dengan zahir dari hadits-hadits. Adapun penafsiran kelompok kedua yang membawa kedustaan pada hadits tersebut kepada tauriyah maka tidaklah samar bahwa hal tersebut sangat jauh (dari kebenaran), terutama berdusta ketika berperang. Sesungguhnya berdusta ketika perang lebih membutuhkan dalil untuk dibolehkan. Oleh karena itu, Al-Hafidzh (Ibnu Hajar Al-‘Asqalanaani) mengatakan di dalam kitabnya ‘Al-Fath’ (VI/119), “An-Nawawi mengatakan, ‘pendapat yang tampak benar adalah bolehnya berdusta pada ketiga hal tersebut. Akan tetapi, menggunakan bahasa kiasan (tauriyah) itu lebih utama.”[10]
Begitu indahnya agama Islam, dia mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu berlaku jujur dan hanya boleh berdusta pada keadaan-keadaan tertentu saja sebagaimana telah disebutkan di atas. Berbeda dengan beberapa kelompok sesat yang mengatasnamakan diri mereka Islam, sebagian mereka memperbolehkan dan menghalalkan berdusta, seperti yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Syi’ah.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allah subhaanahu wa ta’aalaa mencatat kita sebagai orang-orang yang jujur dan memberikan kesempatan kita untuk bisa menjadi orang yang ash-shiddiiq sebelum kita wafat. Aamiin.
***
Daftar Pustaka
- Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
- Ash-Shidqu Al-Fadhiilah Al-Jaami’ah. Sulaiman bin Muhammad bin Falih Ash-Shaghiir. Dar Ibnil-Atsiir.
- Jaami’ul-bayaan fii ta’wiilil-Qur’aan. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
- Mahaasinush-Shidqi wa Masaawi-ul-Kadzib. ‘Abdullah bin Jarillah Alu Jarillah. www.islamhouse.com.
- Silsilatul-Ahaadiits Ash-Shahiihah. Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
- Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Ismaa’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
- Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
- Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
Catatan kaki
[1] HR Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637.
[2] HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59/211.
[3] HR At-Tirmidzi no. 2518. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
[4] HR Al-Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532/3858.
[5] HR Muslim no. 1909/4930.
[6] HR Ahmad no. 12383 dan Ibnu Hibban no. 194. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih di dalam Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir no. 7179.
[7] Tafsiir Ibnu Katsir IV/234.
[8] HR Abu Dawud no. 4922.
[9] HR Ahmad no. 27278. Kedua hadits di atas dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 545.
[10] Penjelasan beliau di dalam pembahasan hadits no. 545 dalam Ash-Shahiihah.
___
Penulis: Ust. Sa’id Ya’i, Lc., MA.
Artikel Muslim.or.id
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/26155-sudah-jujurkah-kita.html