MENGAMALKAN DALIL MESKI BERBEDA DENGAN PERBUATAN ULAMA
Oleh Ustadz M. Iqbal Rahmatullah, Lc. (Mudir Ma’had Abdullah bin Abbas)
Allah ta’ala berfirman:
﴿ ٱتَّخَذُواْ أَحبَارَهُم وَرُهبَٰنَهُم أَربَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلـمَسِيحَ ٱبنَ مَريَمَ وَمَآ أُمِرُوآ إِلَّا لِيَعبُدُواْ إِلَٰهًا وَٰحِدًا لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ سُبحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشرِكُونَ ﴾
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[1]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat tahun 1376 H) –rahimahullah– berkata: “Mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan berdasarkan (ucapan ulama) mereka, mengharamkan apa yang Allah halalkan atas dasar (ucapan ulama) mereka, dan membuat syariat serta bacaan-bacaan yang bertentangan dengan agama para rasul, lalu mereka mengikutinya atas dasar itu.
Mereka juga bersikap ghuluw (melampaui batas) dalam menghormati guru-guru dan ahli ibadahnya. Mereka menjadikan kubur-kuburnya sebagai berhala yang disembah selain Allah (dengan) diadakan penyembelihan, berdoa dan istighatsah di tempat itu.”[2]
Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) –rahimahullah– berkata:
رَأيُ الأَوزَاعِيِّ، وَرَأيُ مَالِكٍ، وَرَأيُ سُـــفيَانَ، كُلُّهُ رَأيٌ، وَإِنَّمَا الحُجَّةُ فِي الآثَارِ.
“Pendapat al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Sufyan, semuanya pendapat, hujjah itu hanya pada atsar.”[3]
Abdullah bin Abbas –radhiallahu ‘anhuma– berkata: “Hampir saja batu turun menimpa kalian dari langit; aku sampaikan ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda’ sementara kalian mengatakan: ‘Abu Bakar dan Umar berkata.’”[4]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan –rahimahullah– memberikan faedah dari atsar Ibnu Abbas di atas, beliau mengatakan: “Pada perkataan (Abdullah) bin Abbas –radhiallahu ‘anhuma- menunjukan bahwa orang yang sampai dalil kepadanya, lalu ia tidak mengamalkannya; karena taklid kepada imamnya, maka wajib diingkari dengan tegas, karena sikapnya yang menyelisihi dalil.”[5]
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (204 H) –rahimahullah– berkata:
“Jika ada sesuatu telah sah dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam; maka itu mengharuskan diikuti bagi semua orang yang mengetahuinya, tidak dikuatkan dan dilemahkan oleh sesuatu apapun selainnya. Namun yang wajib atas semua manusia adalah mengikutinya, dan Allah tidak menjadikan perintah bagi seorangpun bersamanya yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah shalallahu alaihi wasallam).”[6]
Ketika Umar bin al-Khattab memutuskan perkara, lalu datang hadits yang menyelisihi keputusannya,[7] kemudian Imam asy-Syafi’i berkata:
“Dalam hadits ini menunjukkan dua perkara: pertama bahwa hadits (harus) diterima, yang berikutnya (kedua) bahwa hadits diterima ketika telah sah, meski belum ada amalan dari para imam (yang sama) seperti (kandungan) hadits yang mereka terima tersebut.”[8]